MAKALAH
POLIGAMI
Dosen Pengampu : H. ISROQUNNAJAH , M.Ag.
Oleh :
FAISAL AZHARI (11210010)
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
APRIL 2013
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Poligami
Kata Monogamy
dapat dipasangkan dengan poligami sebagai antonim, Monogamy adalah
perkawinan dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan saja, sedangkan kata poligami yaitu perkawinan
dengan dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama. Dengan demikian
makna ini mempunyai dua kemungkinan pengertian; Seorang laki-laki menikah
dengan banyak laki-laki kemungkinan pertama disebut Polygini dan
kemungkinan yang kedua disebut Polyandry.
Hanya saja yang
berkembang pengertian itu mengalami pergeseran sehinggah poligami dipakai untuk
makna laki-laki beristri banyak, sedangkan kata poligyni sendiri tidak lazim
dipakai.[1]
Poligami berarti ikatan
perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu
istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani
hidup berkeluarga, sedangkan monogamy berarti perkawinan yang hanya membolehkan
suami mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.[2]
Poligami adalah suatu
bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu yang sama mempunyai istri
lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah monogamy,
sedangkan poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal pikiran
manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para ahli
sejarah poligami mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan
orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada
pula yang hanya dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang,
dan banyak anak gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian
dijadikan gundik dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi
kedudukanya, makin banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian poligami
itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan zaman perbudakan yang mana
hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.[3]
Poligami adalah salah
satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang-orang yang memfitnah Islam dan
seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap hak-hak perempuan.
Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa kondisi perempuan dalam
masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal kesulitan, karena tidak
adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan
oleh banyak penulis, bahwa poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini
merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan
kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka
jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan
bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah yang
tidak terbatas.
Namun dalam Islam,
poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya
dibolehkan hanya sampai empat wanita saja.[4]
B.
Dasar Hukum Poligami
Yaitu terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak)
perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Maksudnya berlaku
adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah
ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat
Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.[5]
Dan demikian juga
disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Sejak masa Rasulullah
SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian besar kaum
Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai berikut:
1. Perintah Allah SWT, “maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai
perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih
untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah
kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu
yang berbeda.
2. Larangan mempersunting
istri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman
Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau
empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih dari
empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang
bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa
arab.
3. Poligami harus
berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian jika
kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak dibolehkan
menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu
untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa
terhadap tindakannya itu.
4. Juga
sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal
yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia.
Namun, suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain
karena kecintaannya terhadap istrinya.
5. Sebagian ulama`
penganut madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang ayaang
akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap
teks al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat
aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam
kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan keputusannya
terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab syafi`I
jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai syarat poligami ini
adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa
dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan hukum.[6]
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama
seorang mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk
menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu
tidak bergantung kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak
bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur
dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[7]
C. Alasan Poligami
Pada dasarnya
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri
lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan
Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga dalam
Bab IX KHI Pasal 57 seperti
dijelaskan sebagai berikut:
a.Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Apabila diperhatikan alasan
pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya
mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah, mawaddah, dan
rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang
disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat dianggap rumah tangga
tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan
rahmah).
D. Syarat-syarat Poligami
Pasal 5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:
(1) Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/ isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2)
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.[8]
E. Prosedur
Poligami
Prosedur
poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan
bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka
ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Hal ini
diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai
berikut:
Pasal 56 KHI
1) Suami yang hendak beristeri lebih
dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)
dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan
isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI
Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a.Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Kalau Pengadilan Agama sudah
menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa berdasarkan Pasal 57
KHI :
a. Ada atau
tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b. Ada atau
tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di
depan sidang pengadilan;
c. Ada atau
tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan:
i.
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
ii.
Surat keterangan pajak penghasilan, atau
iii.
Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh
pengadilan.
Pasal 58 ayat
(2) KHI
Dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri
atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi
sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan
persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun tata cara teknis pemeriksaan
menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah sebagai berikut:
(1) Dalam
melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus
memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan
pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau
istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin
dimintai persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua)
tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
Pengadilan (bandingkan
juga dengan Pasal 58 KHI). Namun, bila Pengadilan berpendapat bahwa cukup
alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal
43 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu
alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila keputusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan
Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9
Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan
poligami seperti telah diuraikan di atas
mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai
percatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
pasal-pasal di atas, dikenakan sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX
Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 :
(1) Kecuali
apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang
diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum
dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus
rupiah);
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan
yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 12, dan 44 Peraturan
Pemerintah ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1)
di atas, merupakan pelanggaran.
Ketentuan
hukum poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui
izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan
dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah
tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta dan kasih sayang yang diridhai
oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan
menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti
dihilangkan atau setidaknya dikurangi
Status hukum
poligami adalah mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatisf untuk beristri hanya
sebatas 4 (empat) orang istri. Hal itu ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai
berikut:
(1) Beristeri lebih dari satu orang
dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2) Syarat
utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat 2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari satu.
Dasar pertimbangan KHI adalah hadits
Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibn Hibban
yang mengugkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia
mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka bersama-sama, dan dia masuk Islam.
Maka Nabi Muhammad SAW. memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja
di antaranya dan menceraikan yang lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Poligami adalah suatu bentuk perkawinan di mana seorang pria dalam waktu
yang sama mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Adapun alasan
Poligami,
pada dasarnya seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat
diperbolehkan bila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan
Agama telah memberi izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar
pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan juga dalam
Bab IX KHI Pasal 57.
Adapun syarat-syarat poligami, termaktub dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang. Prosedur Poligami. Adapun prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud
untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan
58 Kompilasi Hukum Islam.
[2] Al-qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh
Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19
[4] Khoiruddin Nasution, Riba
Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hal. 84
[6] Fada Abdul Razak
Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat,
(Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal. 42-45
+ comments + 6 comments
nice artikel gan, sukses selalu dan jangan lupa kunjungi kmi kembali ya gan ^^
indah sekali bahasannya
Makalahnya bagus Mas
Makalahnya bagus Mas. Getri Ardenis di Padang
batman
bilecik
bingöl
bitlis
bodrum
MZO52
dijital kartvizit
referans kimliği nedir
binance referans kodu
referans kimliği nedir
bitcoin nasıl alınır
resimli magnet
XOS
Posting Komentar
anda bebas untuk mengomentari, tapi bebas itu ada batasnya,
itulah mengapa kita disebut manusia :D